Jumat, 21 Januari 2011

Perbedaan Birokrasi di Negara Maju dengan Negara berkembang

Perbedaan Birokrasi di Negara Maju dengan Negara berkembang

Pada perspektif klasik, telah dikenal nama besar Max Weber dengan teori birokrasinya, yang meskipun zaman telah memasuki periode kontemporer, namun teori klasik ini masih tetap memiliki kekuatan yang besar yang mana praktik-praktiknya dapat kita temukan dalam kehidupan kerja sehari-hari, terutama perusahaan besar di Indonesia.
Sebagaimana yang kita ketahui, Mary Jo Hart mengemukakan tafsirnya atas paradigma komunikasi organisasi dengan mengeluarkan empat perspektifnya, yang dirangkum kembali menjadi dua perspektif besar, yakni klasik dan kontemporer. Teori Birokrasi Max Weber merupakan salah satu teori besar dalam perspektif klasik. Selain itu, terdapat. Teori Manajemen Ilmiah (Taylor) dan Penerimaan Kewenangan (Barnard).
Menurut observasi beberapa pakar komunikasi, konsep organisasi sebenarnya telah berkembang cukup lama, yakni mulai abad 20. Konsep-konsep inilah yang sekarang dikenal sebagai teori klasik (classical theory) atau terkadang beberapa orang mengenalnya sebagai teori tradisional.
Hingga hari ini, dampak dari teori klasik pada organisasi masih mendominasi. Birokrasi adalah kata kunci utama yang dapat menghantarkan kita pada pemaknaan praktik classical theory, khususnya Indonesia yang terkenal dengan keruwetan birokrasinya yang telah membudaya.
Dalam memahami teori organisasi klasik, maka nama besar Weber akan sulit untuk dilepaskan. Tokoh paradigm interpretatif yang menjadi sangat popular dengan buah pemikirannya, yakni Karakteristik Organisasi Weberian (Organisasi Formal), akan selalu identik dengan keyword ‘birokrasi’, karena memang pada konsepnya terdapat konsep birokrasi yang mendetail .
Kata birokrasi mula-mula berasal dari kata legal-rasional. Organisasi disebut rasional dalam hal penetapan tujuan dan perancangan organisasi untuk mencapai tujuan tersebut. Menurut Weber, bentuk organisasi birokratik merupakan bentuk yang paling efisien. Dalam teorinya, Weber mengemukakan sepuluh (10) ciri organisasi1, yaitu:
1. Suatu organisasi terdiri dari hubungan-hubungan yang ditetapkan antara jabatan-jabatan. Blok-blok bangunan dasar dari organisasi formal adalah jabatan-jabatan.
2. Tujuan atau rencana organisasi terbagi ke dalam tugas-tugas, tugas-tugas tersebut disalurkan di antara berbagai jabatan sebagai kewajiban resmi (job description).
3. Kewenangan: melaksanakan kewajiban diberikan kepada jabatan (saat resmi menduduki sebuah jabatan).
4. Garis kewenangan dan jabatan diatur menurut suatu tatanan hierarkhis.
5. Sistem aturan dan regulasi yang umum tetapi tegas yang ditetapkan secara formal, mengatur tindakan-tindakan dan fungsi-fungsi jabatan dalam organisasi.
6. Prosedur bersifat formal dan impersonal. Perlu adanya catatan tertulis demi kontinuitas, keseragaman (uniformitas), dan untuk maksud-maksud transaksi.
7. Adanya prosedur untuk menjalankan disiplin anggota.
8. Anggota organisasi harus memisahkan kehidupan pribadi dan kehidupan organisasi.
9. Pegawai yang dipilih utk bekerja berdasarkan kualifikasi teknis.
10. Kenaikan jabatan berdasarkan senioritas dan prestasi kerja.
Sebagai implikasinya, teori Weber pada komunikasi organisasi menunjukkan suatu fenomena yang disebut komunikasi jabatan (positional communication). Relasionalitas dibentuk antar jabatan, bukan antar individu. Teori ini juga termasuk dalam tradisi posisisonal2 karena masih berada satu payung kajian mahzab klasik, selain teori empat system dari Likert.

Perbandingan bentuk birokrasi antara Negara maju dengan Negara berkembang:
Fred W. Riggs bersama para ahli administrasi negara, antara lain John D. Montgomery, Milton Esman, Ralph Braibanti, William J. Smith, dan Edward W. Weidner, membentuk kelompok studi perbandingan administrasi (Comparative Study
Administration Group/CAG). Hasil studi banding antara negara maju dan negara
berkembang tersebut mengungkap adanya perbedaan-perbedaan antara keduanya dalam
hal administrasi pemerintahan. Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Pada negara maju, pengangkatan dan pemberhentian pegawai didasarkan pada suatu standar tertentu atau dikenal dengan istilah meryt system. Sementara pada negara berkembang, pengangkatan dan pemberhentian pegawai terjadi karena birokrasi atau nepotisme.
2. Pada negara maju, berlaku prinsip legal rational impersonal, di mana setiap persoalan diselesaikan dalam kantor/kedinasan serta berdasarkan hukum yang berlaku. Sebaliknya, hubungan satu sama lain dalam pemerintahan di negara berkembang didominasi oleh praktik yang dikenal dengan istilahbureaucr atic
Click dan patron client relationship, yaitu penyelesaian persoalan di dalamdan di luar kantor melalui cara-cara yang tidak legal-formal.
3. Pada negara maju, diferesiansi fungsi dalam administrasi pemerintahan terlihat dengan jelas dan tegas, sementara hal ini tidak terjadi pada administrasi pemerintahan di negara berkembang.
4. Berbagai macam penawaran dan permintaan yang berkaitan dengan urusan administrasi pemerintahan di negara maju dilakukan dalam mekanismeformal market. Tidak demikian halnya pada negara berkembang, semua penawaran dan permintaan terjadi melalui mekanisme informal market.
5. Selain efektif, administrasi pada negara maju juga berjalan efisien. Sementara di negara berkembang, efektivitas dalam hal administrasi tidak diikuti oleh efisiensi.
Gambaran praktek birokrasi di Negara Berkembang
Di negara-negara berkembang pada umumnya birokrasi pemerintahannya cenderung sulit untuk berubah kearah yang lebih baik. Birokrasi pemerintahannya masih berada posisi yang kurang atau tidak stabil dan belum menemukan pola kerja yang baik. Perubahan pimpinan negara dan bahkan seorang kepala unit kerja dapat merubah sistem administrasi (negara) kearah yang lebih buruk, atau dengan kata lain ganti pimpinan ganti gaya administrasi mencerminkan posisi sistem administrasi negara di negara maju dan negara berkembang). Berbagai penyakit birokrasi (bureaupathology) termasuk korupsi cenderung sulit disembuhkan. Salah satu penyebabnya adalah karena birokrasi pemerintahan sering digunakan sebagai alat perpanjangan kekuasaan oleh para penguasa untuk mempertahankan kekuasaan secara tidak demokratis dan merugikan masyarakat umum. Akibatnya, peran aparatur pemerintah yang seharusnya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, yang mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat umum, cepat atau lambat berubah menjadi pelayan partai atau kelompok yang berkuasa. Selanjutnya, birokrat cenderung berperan sebagai yang dilayani sedangkan masyarakat sebagai yang melayani (patron-client) dengan memberikan imbalan tertentu atas suatu jasa yang diberikan birokrat tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar